operations |
comment | "parent_author":"",<br>"parent_permlink":"indonesia",<br>"author":"taslem",<br>"permlink":"the-meugang-tradition-to-greet-fasting",<br>"title":"The Meugang Tradition To Greet Fasting",<br>"body":"![IMG_20180515_184142.jpg (https:\/\/steemitimages.com\/DQmPS9npdcdnfQdqUB445SAnSimFgEsG59PKqPXHinBsT7R\/IMG_20180515_184142.jpg)\n\n>Tradisi Meugang Untuk Menyambut Puasa\n\nAcehnese tradition welcomes the fasting month by holding a meugang or makmeugang. Day to buy lunch and break the fast. On the day meugang meat traffickers held merchandise in the street agency of sub-district towns. Communities of various economic and social levels flocked to the subdistrict town to buy meat. Here is the social status dipetaruhkan,<br> the rich buy a lot and the poor buy a little. This tradition will continue to be maintained by the people of Aceh until the age of the world ends. A typical tradist that is not found elsewhere. Meugang this year simultaneously implemented throughout the Aceh Darussalam coincide with Wednesday,<br> May 16,<br> 2018 or 30 Sya'ban 1439 Hijri.\n\n>Tradisi masyarakat Aceh menyambut bulan puasa dengan menggelar meugang atau makmeugang. Hari untuk membeli bekal sahur dan berbuka puasa. Pada hari meugang pedagang daging menggelar dagangannya di badan jalan kota-kota kecamatan. Masyarakat dari berbagai tingkatan ekonomi dan sosial berbondong-bondong pergi ke kota kecamatan untuk membeli daging. Disinilah status sosial dipetaruhkan,<br> yang kaya beli banyak dan yang miskin beli sedikit. Tradisi ini akan terus dipertahankan oleh masyarakat Aceh sampai umur dunia berakhir. Suatu tradis khas yang tidak dijumpai di tempat lain. Meugang tahun ini serentak dilaksanankan diseluruh wilayah Aceh Darussalam bertepatan dengan Rabu 16 Mei 2018 atau 30 Sya'ban 1439 Hijriah.\n\nMeat traders take advantage of this moment to extract the greatest advantage and become an inflationary contributor each year in Aceh. As is known when the demand for a good increases in this case beef,<br> the likelihood that the price will increase,<br> while the population of cattle in Aceh decreases every year,<br> then inflation is inevitable. The price of beef in the national market today is around Rp 150,<br>000 per kilogram for local beef while the price of imported meat is around Rp 100,<br>000 per kilogram. Meugang meat traders in Aceh fix the price between Rp 170,<br>000 to Rp 180,<br>000 perkilogramnya. While the price of beef cattle in breeders there is no price increase. The price difference is enjoyed by agents and traders. Farmers do not get anything from the price increase. Even meat traders take advantage of the moment of Ramadan through the meugang tradition by holding a meugang for two days starting from yesterday.\n\n>Pedagang daging memanfaatkan momen ini untuk mengeruk keutungan yang sebesar-besarnya dan menjadi penyumbang inflasi setiap tahun di Aceh. Sebagaimana diketahui ketika permintaan suatu barang bertambah dalam hal ini daging sapi maka kemungkinan yang terjadi harga menjadi naik,<br> sementara populasi sapi di Aceh semakin berkurang setiap tahunnya,<br> maka inflasi\u00a0 tidak dapat dihindarkan. Harga daging sapi di pasar nasional hari ini berkisar Rp 150.000 perkilogram untuk daging sapi lokal sementara harga daging impor berkisar Rp 100.000 perkilogram. Pedagang daging meugang di Aceh mematok harga antara Rp 170.000 hingga Rp 180.000 perkilogramnya. Sementara harga sapi potong pada peternak tidak ada kenaikan harga. Selisih harga tersebut dinikmati oleh agen dan pedagang. Peternak tidak mendapat apa-apa dari kenaikan harga tersebut. Bahkan pedagang daging memanfaatkan momen bulan Ramadhan melalui tradisi meugang dengan menggelar meugang selama dua hari dimulai dari kemarin.\n\n![IMG_20180515_220750.jpg (https:\/\/steemitimages.com\/DQmW6RKDAkuiRQCraJNik6ZeGigTptCfd9EVxJbUaXV1Pe7\/IMG_20180515_220750.jpg)\n\nThe tradition of meugang began when the early days of Islamization of the people of Aceh. In the past when Ramadan came the people of Aceh to reduce the activity of work and more rest for the fasting is not heavy. Cattle and buffaloes are cut by the leaders of the regions and the flesh is distributed among the people. Sulthan only made meugang in the capital and divided meugang meat only for the people of three areas (Aceh lh\u00e8\u00eb sagoe) of Kuta Raja (Banda Aceh). In the meugang area handled by the Ul\u00e8\u00ebbalang (level of regents and mayors) involving Imum Mukim,<br> Imum Meunasah and Geuchik as the leader. Meugang meat market is also held by traders but the price follows the official price set by the kingdom. People buy meat from merchants to give to people who are dependent,<br> especially for parents and in-laws. It would be a disgrace if the son-in-law did not bring back the meat to his father-in-law on the day of meugang.\n\n>Tradisi meugang dimulai ketika awal-awal pengislaman masyarakat Aceh. Dahulu ketika tiba bulan Ramadhan rakyat Aceh mengurangi aktivitas bekerja dan lebih banyak beristirahat supaya puasanya tidak berat. Memotong sapi dan kerbau dilakukan oleh pimpinan daerah-daerah dan dagingnya dibagi-bagikan kepada rakyat. Sulthan hanya membuat meugang di ibukota dan membagi daging meugang hanya untuk rakyat tiga segi (Aceh lh\u00e8\u00eb sagoe) kawasan Kuta Raja (Banda Aceh). Di daerah meugang ditangani oleh para Ul\u00e8\u00ebbalang (setingkat bupati dan walikota) dengan melibatkan Imum Mukim,<br> Imum Meunasah serta Geuchik selaku pimpinan. Pasar daging meugang juga digelar oleh pedagang tetapi harga mengikuti harga resmi yang ditetapkan oleh kerajaan. Masyarakat membeli daging dari pedagang untuk diberikan kepada orang yang menjadi tanggungannya,<br> terutama untuk orang tua dan mertua. Menjadi suatu aib jika menantu tidak membawa pulang daging kepada mertua di hari meugang. \n\nThe profession of the majority of the people in antiquity were farmers and fishermen. The month of Ramadan becomes a month to rest after eleven months of hard work. Meugang is actually a day to stock food during fasting. Purchased meats are cooked with vinegar from palm sugar so that the meat is durable. In the old days there was no frezer or refrigerator to store fresh meat,<br> cooking with vinegar kept the meat fresh for weeks. In addition to cooked with vinegar,<br> some meat is also smoked and made dried jerky. This way is done by the people of Aceh to make food can be stored longer even until Ramadan ends and before Idul Fitri.\n\n>Profesi mayoritas rakyat pada jaman dahulu adalah petani dan nelayan. Bulan Ramadhan menjadi bulan untuk beristirahat setelah sebelas bulan bekerja keras. Meugang sebenarnya menjadi hari untuk stok makanan selama puasa. Daging-daging yang dibeli dimasak dengan cuka dari aren supaya daging tahan lama. Jaman dahulu tidak ada frezer maupun lemari es untuk menyimpan daging segar,<br> memasak dengan cuka membuat daging tetap segar selama berminggu-minggu. Selain dimasak dengan cuka,<br> sebagian daging juga diasapi dan dibuat dendeng kering. Cara seperti ini dilakukan oleh masyarakat Aceh untuk membuat makanan bisa disimpan lebih lama bahkan sampai Ramadhan berakhir dan menjelang Idul Fitri.\n\n![IMG_20180515_184230.jpg (https:\/\/steemitimages.com\/DQmP5gSj3QQWLcJDxUTk6xs5ZhFbTKkEf71c9zYDDfiwU86\/IMG_20180515_184230.jpg)\n\nThe social status of the people of Aceh is now more poor and dying. Certainly many families who can not afford to buy a kilo of meat. Employment is increasingly unavailable,<br> stagnant economic growth and no specific programs that directly touch on the economic changes of the people. From that cause social disease in the middle of society. Not surprisingly,<br> before the month of fasting cases of theft rampant occurred in Aceh. Economic difficulties and the increasing need of life in Ramadan make some members of the community act outside the norms of decency. Meugang for some people to be a day ready to perform fasting,<br> but for others become a day of mourning for the sadness of family members due to not able to buy meat.\n\n>Status sosial masyarakat Aceh sekarang lebih banyak yang miskin dan sekarat. Dipastikan banyak kepala keluarga yang tidak mampu membeli sekilo daging. Lapangan kerja semakin tidak tersedia,<br> pertumbuhan ekonomi stagnan dan tidak ada program-program khusus yang langsung menyentuh terhadap perubahan ekonomi rakyat. Dari hal tersebut menyebabkan timbulnya penyakit sosial di tengah-tengah masyarakat. Tidak mengherankan menjelang bulan puasa kasus-kasus pencurian marak terjadi di Aceh. Kesulitan ekonomi dan kebutuhan hidup semakin meningkat di bulan Ramadhan membuat sebagian anggota masyarakat bertindak di luar norma-norma kesusilaan. Meugang bagi sebagian orang menjadi hari bersiap melaksanakan ibadah puasa,<br> namun bagi sebagian lainnya menjadi hari berkabung bagi kesedihan anggota keluarganya dikarenakan tidak sanggup membeli daging.",<br>"json_metadata":" \"tags\":[\"indonesia\",<br>\"life\",<br>\"culture\",<br>\"adsactly\",<br>\"aceh\" ,<br>\"image\":[\"https:\/\/steemitimages.com\/DQmPS9npdcdnfQdqUB445SAnSimFgEsG59PKqPXHinBsT7R\/IMG_20180515_184142.jpg\",<br>\"https:\/\/steemitimages.com\/DQmW6RKDAkuiRQCraJNik6ZeGigTptCfd9EVxJbUaXV1Pe7\/IMG_20180515_220750.jpg\",<br>\"https:\/\/steemitimages.com\/DQmP5gSj3QQWLcJDxUTk6xs5ZhFbTKkEf71c9zYDDfiwU86\/IMG_20180515_184230.jpg\" ,<br>\"app\":\"steemit\/0.1\",<br>\"format\":\"markdown\" " |
|